Hello guys, welcome to
my blog. Kali ini saya akan menceritakan ketika saya ke Museum Kereta Api
Ambarawa.
Museum Kereta Api Ambarawa adalah sebuah stasiun kereta api yang sekarang dialihfungsikan menjadi sebuah museum di Ambarawa, Jawa
Tengah yang
dapat dibilang lenkap karena memiliki kelengkapan kereta
api yang
pernah berjaya pada zamannya.
Kereta
api uap bergerigi
ini sangat unik dan merupakan salah satu dari tiga yang masih tersisa di dunia.
Dua di antaranya ada di Swiss dan India.
Ambarawa awalnya merupakan sebuah kota militer pada masa
Pemerintahan Kolonial Belanda. Raja Willem I memerintahkan untuk membangun stasiun kereta api baru
yang memungkinkan pemerintah untuk mengangkut tentaranya ke Semarang. Pada 21 Mei 1873, stasiun kereta api Ambarawa dibangun
di atas tanah seluas 127.500 m². Pada awalnya dikenal sebagai Stasiun Willem I
dan stasiun Willem I ini kini tertidur di museum beserta seluruh perlengkapan
perkeretaapiannya.
Stasiun ini awalnya menjadi titik pertemuan antara lebar
sepur 1.435 mm ke arah Kedungjati dengan 1.067 mm ke arah Yogyakarta melalui
Magelang. Hal ini masih bisa terlihat bahwa kedua sisinya dibangun stasiun
kereta api untuk mengakomodasi ukuran lebar sepur yang berbeda.
Museum kereta api Ambarawa kemudian didirikan pada
tanggal 6 Oktober 1976 di Stasiun Ambarawa untuk melestarikan lokomotif uap yang kemudian berada pada masa pemanfaatan kembali ketika
jalur rel 1.435 mm milik Perusahaan Negara Kereta Api ditutup. Ini merupakan
museum terbuka yang terdapat pada kompleks stasiun.
Museum ini melayani kereta wisata Ambarawa-Bedono pp,
Ambarawa-Tuntang pp dan lori wisata Ambarawa-Tuntang pp. Kereta wisata
Ambarawa-Bedono pp atau lebih dikenal sebagai Ambarawa
Railway Mountain Tour ini
beroperasi dari museum ini menuju Stasiun
Bedono yang jaraknya 35 km dan ditempuh 1 jam untuk sampai
stasiun itu. Kereta ini melewati rel bergerigi yang hanya ada di sini dan di Sawahlunto.
Panorama keindahan alam seperti lembah yang hijau antara Gunung Ungaran dan
Gunung Merbabu dapat disaksikan sepanjang perjalanan.
Pemandangan yang dapat dinikmati dari kereta dan lori
Ambarawa-Tuntang pun tak kalah bagusnya. Kereta ini berangkat dari stasiun
menuju Stasiun
Tuntang yang berada sekitar 7 km dari museum. Di sepanjang jalan
dapat dilihat lanskap menawan berupa sawah dan ladang dengan latar belakang Gunung
Ungaran, Gunung
Merbabu, dan Rawa Pening di kejauhan. Kereta ini sebenarnya sudah ada sejak dulu,
tetapi ditutup pada 1980-an karena prasarana yang rusak (wikipedia). Tetapi
sayangnya ketika saya berkunjung kesana saya ketinggalan kereta uapnya. So sad
banget ya? Makannya next time mau ke Museum Kereta Api Ambarawa lagi.
Oke saya mau cerita dari awal, saya berangkat dari Jogja menggunakan salah satu bus patas menuju Ambarawa, harga tiket sebesar Rp 45.000 dan ditempuh
dalam waktu 2 jam perjalanan dari Jogja. Kemudian saya turun di perempatan yang sudah
disarankan oleh pak supir dan asistennya (terimakasih pak supir dan asistennya
udah ngasih tau turun disini) dilanjutkan naik angkot berwarna kuning ke arah
museum, biayanya sebesar Rp 2500. Lanjutin saya masuk museum aja ya. Terakhir
saya berkunjung ke Museum Kereta Api Ambarawa pada tanggal 24 Desember
2015, harga tiket masuk museum sebesar
Rp 10.000 dan harga karcis kereta wisata adalah Rp50.000 per orang. Nah ketika
masuk kita disambut oleh petugas loket, petugasnya ramah tetapi orang
dibelakang saya menyerobot antrian. Kesel banget sih bikin bete aja, sayangnya
dia bawa anak kecil jadi saya tidak enak untuk menegur. Di bagian depan kita
akan menemukan lokomotif yang sedang diperbaiki dan mungkin diganti oli karena
disitu seperti bengkel si loko, banyak olinya dan aroma oli bertebaran khas bau
bengkel, tapi ga ada asap kenalpot lho, kan bengkelnya loko bukan bengkel
motor.
Lanjut mulai masuk melewati jalan berkonblok dengan kanan
kiri rel dan rumput hijau royo-royo, bukan rumput tetangga lebih hijau loh ya.
Saya merasakan benar-benar menikmati bernapas disini. Ada tulisan yang dibuat
dari logam “ I AMBARAWA” tapi ketenangan saya diganggu oleh anak-anak alay yang
berfoto disana dengan gaya-gaya yang menurut saya itu menjijikkan. Masuk ke
museum diawali dengan melihat stasiun Willem I yang tertidur panjang disini,
saya coba sentuh tembok dan kayunya, rasanya merasakan sesuatu yang tenang tapi
sulit diungkapkan. Di sebelah kanan stasiun Willem banyak lokomotif-lokomotif
tua terparkir, saya lupa untuk menghitungnya tapi banyak deh. Ada juga lori yang
terbuat dari kayu yang tentu usianya
lebih tua daripada ibu saya, ya mungkin seumuran nenek saya deh. Tapi
lagi-lagi saya terusik untuk menikmati si loko tua karena ulah anak-anak alay
yang kesana kesini bawa tongsis dan berfoto, serius itu membuat saya tidak bisa
menikmati kebersamaan bareng si loko tua. Akhirnya saya memutuskan ke sebelah
kiri stasiun Willem I. Saya sempat duduk di tepi rel menikmati suasana sejuk
daerah Ambarawa dan melihat para pekerja yang sedang memotong rumput,
benar-benar sejuk dan membuat betah duduk lama disana. Saya membayangkan betapa
sibuknya stasiun ini pada masa kolonial dan saya berusaha memahami mengapa
mereka (para orang Belanda) menyukai Ambarawa, ya udaranya sejuk, saya juga
suka berlama-lama disini. Sambil menuliskan cerita ini saya teringat Elizabeth
van Kampen yang bercerita di situs dutch-east-indies.com tentang Kamp Banyu Biru. Maybe next time
disempatkan ke bekas Kamp Banyu Biru.
Oh iya saya bertemu seekor kucing berwarna kuning juga di
stasiun Willem I ini, saya sedih karena ternyata saat itu saya lupa membawa
makanan kucing yang biasanya ada di tas saya.
Saya lanjutkan lagi berjalan menyusuri stasiun Willem I
sampai ke belakang akhirnya menemukan bangunan-bangunan kecil, mushola, toilet
dan bangunan untuk menyimpan benda-benda perkeretapian sejak jaman dahulu
seperti buku-buku standar operasi kereta, kartu tanda pegawai, mesin ketik
kuno, alat cetak tiket dan buku yang berisi simbol-simbol yang digunakan untuk
kereta api. Mushola cukup bersih, toilet juga bersih dan kedua tempat ini saya
pikir adalah bangunan baru karena gaya bangunannya sudah tidak seperti bangunan
kolonial. Ke ujung belakang saya menemukan lori yang sudah tidak terpakai yang
mungkin dulunya digunakan untuk membawa pupuk, hasil pertanian atau batu bara
karena lorinya tidak memiliki atap.
Lanjut ke sebelah kanan stasiun Willem I di sebelah kanan
si loko beristirahat ada koridor yang pada dindingnya menceritakan sejarah
perkeretapian Indonesia sejak jaman kolonial Belanda.
Saya menyempatkan diri untuk berfoto di beberapa
lokomotif tua dan menyentuhnya, yang saya ingat ada lokomotif buatan Manchester
(saya emang suka Manchester United sih) buatan tahun 1912, ada juga yang lebih
tua dari itu.
Kemudian saya membayangkan bahwa lokomotif ini sangat tua, lebih
tua dari nenek saya lho, pasti mengandung rekaman peristiwa-peristiwa yang
sangat banyak, saya coba menyentuhnya saja. Ada lokomotif C 2821 yang merupakan
jenis lokomotif uap terbanyak di Indonesia dan tercepat di dunia pada masanya
yang dibuat pada tahun 1921 dengan negara pembuat si loko ini adalah Jerman.
Bisa dibayangin dong ngangkut si loko yang besar ini dari Jerman ke Indonesia
kala itu oleh SS, perjalanan yang tidak mudah tentunya. Berat total si loko ini
adalah 92 ton dengan kecepatan operasional 90km/jam. Masih banyak lagi
loko-loko tua yang bisa kita sentuh dan rasakan disana tapi karena hari sudah
menjelang sore dan museum akan tutup saya meinggalkan si loko-loko tua dan
segera meninggalkan museum. Kadang penasaran juga sih bagaimana jadinya bila
malam hari terjebak di museum ini.
.Oke saya rasa cukup aja deh cerita dari saya tentang
museum Ambarawa, semoga bermanfaat ya. Nanti kalo saya udah kesana lagi saya
akan update ceritanya. Terimakasih sudah berkunjung dan membaca tulisan saya
yang isinya semau saya ini hahaha.
Post a Comment
Post a Comment