Jejak Sang Jenderal Besar di Lereng Menoreh

Tidak ada komentar

Jejak Sang Jenderal Besar
ditandai dengan monumen MBKD.
Dokpri

Kabut mulai menghilang seiring dengan munculnya sinar-sinar sang surya dari ufuk timur. Kadang masih terdengar suara kokokan ayam hutan di seberang sana, sebelum tergerus oleh deruman kendaraan  bermotor yang lewat.

Pagi yang dingin mulai berubah menjadi hangat dengan pancaran sinar sang surya yang menerobos daun-daunan. Pancaran sinar sang surya juga menerobos rumah-rumah penduduk, menemani mereka memulai aktifitas. Selain ditemani oleh kehangatan sinar sang surya, ada pemandangan yang luar biasa.

Hewan berbulu yang kesetiannya tidak pernah diragukan lagi itu berjalan disamping tuannya, sepertinya mengantar sang tuan menuju tempat tujuannya. Entah itu ke sawah, kebun atau bahkan menuju pasar. 

Hari itu 2 Juli 2019, sebuah perjalanan napak tilas diadakan oleh Dinas Kebudayaan Kulon Progo. Keriuhan yang ada di pasar diimbangi dengan kedatangan para peserta napak tilas di balai Desa Banjarasri, Kalibawang, Kulon Progo. Pasar itu memang terletak bersebelahan dengan balai desa Banjarasri. Beberapa panitia terlihat sibuk mempersiapkan acara napak tilas tersebut.

Peserta Napak Tilas. Dokpri

Jejak Sang Jenderal Besar Masih Terukir Indah Disini.

Sambutan kepala Dinas Kebudayaan Kulon Progo. Dokpri


Acara yang bertema Napak Tilas Perjuangan Abdul Haris Nasution ini diikuti oleh siswa-siswi SMA/K se-Kulon Progo, Komunitas Sejarah, Mahasiswa Sejarah, Guru dan berbagai pejabat dinas terkait. Semangat untuk kembali menengok sejarah perjuangan bangsa demi masa depan digelorakan oleh Kepala Dinas Kebudayaan Kulon Progo.
Ahmad Athoillah, Dosen dan Sejarwan Kulon Progo
 menunjukkan foto dari Simbah Nitirejo Kakung.
 Dokpri

Ahmad Athoillah, dosen sekaligus Sejarawan yang berasal dari Kulon Progo dan masih meneliti berbagai sejarah di wilayah Kulon Progo hadir memberikan materi dalam acara tersebut.

Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, seorang pahlawan nasional yang dikenal dengan sebutan Pak Nas ternyata pernah tinggal selama 2 bulan di Borogunung, Banjarasri, Kalibawang.

Abdul Haris Nasution. Dok : Kemdikbud RI

Jenderal Besar TNI (Purn) Abdul Haris Nasution lahir di Kontanopan, Sumatera Utara, Hindia Belanda pada 3 Desember 1918--Meninggal di Jakarta, Indonesia pada 6 September 2000. (wikipedia)

Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948 ke Yogyakarta membuat tentara republik banyak yang mengungsi. Atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, seluruh warga Kasultanan memang disarankan untuk mengungsi ke wilayah lereng menoreh.

Pimpinan tentara republik bahkan memindahkan MBKD ke luar kota Yogyakarta dan anak buahnya membaur dengan penduduk. Banyaknya warga Jogja yang mengungsi ke lereng menoreh, salah satunya ke Borogunung, Banjarasri membuat warga asli tidak terlalu memperhatikan siapa saja yang datang ke tempat tinggal mereka.

Pemandangan luar biasa di Borogunung. Dokpri


"Bahkan di tahun 1948 itu tentara republik pernah membawa senjata di dalam peti menggunakan keranda. Kemudian mereka berjalan ke atas seolah membawa jenazah", jelas Ahmad Athoillah dalam materinya.

Terus kenapa pak Nas tidak ketahuan saat mengungsi ke Borogunung? 

Hal ini tidak luput dari peran lurah Banjarasri saat itu. Beliau menerima informasi bahwa ada seorang guru dari sumatera ikut mengungsi ke Borogunung bernama Abdul Haris. Kemudian dengan tangan terbuka,  seorang warga bernama Nitirejo bersedia memberikan tempat tinggal untuk guru tersebut di rumahnya.

"Keseharian pak Nas di rumah simbah Nitirejo adalah menulis surat dan mendengarkan radio. Tidak semua orang bisa menemui pak Nas", jelas putra simbah Nitirejo saat kami mengunjungi rumahnya. Tahun lalu, saat komunitas Sesaba Adikarta mengunjungi simbah Nitirejo putri, beliau masih bisa duduk bersama. Sayangnya saksi sejarah yang dulu selalu menyiapkan makanan untuk Pak Nas selama tinggal di Borogunung ini sekarang kesehatannya sudah mulai menurun.
Foto pak Nas di rumah putra dari Simbah Nitirejo. Dokpri

Beberapa peninggalan Pak Nas masih disimpan rapi di rumah putra simbah Nitirejo. Sepasang meja-kursi lawasan tempat pak Nas mendengarkan radio dan menulis surat, kemudian ada foto hitam putih pak Nas muda yang dipigura namun sudah buram termakan usia, dan yang terkahir adalah bintang kehormatan pemberian ABRI untuk simbah Nitirejo. Foto bintang kehormatan bisa dilihat di media sosial milik Watespahpoh.

Sudah 19 tahun pak Nas meninggalkan kita semua tetapi kisah perjuangannya akan selalu dikenang.

Pak Nas di Markas Besar Komando Djawa



Agresi Militer Belanda II pada mau tidak mau membuat tentara republik menyusun strategi perang gerilya agar tidak mudah tertangkap oleh musuh. Sebelumnya markas MBKD ada di lereng merapi, tetapi atas inisiatif pak Nas markas MBKD pos X2 dipindahkan ke lereng menoreh tepatnya di Borogunung. Pak Nas yang saat itu berpangkat sebagai Kolonel tentu juga menyusun strategi dari rumah Nitirejo.
Batuan di lereng bukit yang dikenal dengan nama "watu keker" adalah tempat pengintaian yang sangat strategis bagi pak Nas dan anak buahnya.

Peran vital MBKD pos X2 adalah menyebar luaskan berita dan perintah terkait perang gerilya yang dilaksanakan oleh tentara republik. Selain itu MBKD pos X2 juga merupakan penghubung antara MBKD pos X yang berada di kota Yogyakarta.
Proses komunikasi dilakukan melalui radiogram dengan tenaga baterai yang dirakit sendiri, pengisian tenaga baterai dilakukan oleh warga desa Borogunung melalui pembangkit yang dikayuh seperti sepeda. Selain itu surat menyurat kepada pemimpin Republik Indonesia dilakukan dengan menitipkan surat lewat pesawat UNCI secara diam-diam.(Sejarah Indonesia : Kemdikbud)

Monumen MBKD pos X2

Seekor anjing yang duduk di depan monumen MBKD saat aku berfoto. Dokpri

Sebagai salah satu tempat persembunyian yang tidak terjangkau oleh musuh, sebuah monumen didirikan  oleh pemerintah setelah keadaan membaik . Monumen Markas Besar Komando Djawa, bergambar bintang kehormatan dengan beberapa tulisan yang menggambarkan keadaan saat itu di bagian depan dan belakang monumen. Letak monumen tidak jauh dari balai desa Banjarasri, paling hanya 200 meter dengan jalanan agak menanjak. Monumen terlihat masih berdiri kokoh membelah langit Borogunung yang berwarna biru saat itu.

Bagian belakang monumen MBKD. Dokpri

Pemandangan alam lereng menoreh yang luar biasa , menyimpan cerita sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang tidak pernah terhapus oleh waktu. Selagi ada waktu, berkunjunglah ke Borogunung untuk mengingat perjuangan pahlawan kita dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, agar kita tidak lupa dengan jati diri bangsa ini.









Tidak ada komentar